Andai…

Andai

Masa kanak-kanak adalah masa ketika kita memiliki imajinasi tanpa batas, dan berandai-andai adalah salah satu cara untuk berimajinasi. Bisa jadi, saat ini anak kita sedang asyik berandai-andai bahwa dia adalah Elsa atau Optimus Prime – seperti yang dilakukan seorang keponakan saya.

Kesukaan anak berandai-andai itulah yang digambarkan di dalam buku ini. Dengan sampul yang catchy, tujuh kisah pendek di sini memiliki alur yang sama, yakni tokoh utama yang mengandaikan sesuatu, lalu hal tersebut berubah menjadi kenyataan yang tidak menyenangkan, dan akhirnya sang tokoh mengurungkan perandaiannya.

Misalnya, ada gadis kecil bernama Flea yang berandai-andai seisi dunia ini berwarna pink, karena pink adalah warna kesukaannya. Namun, ketika segala sesuatu benar berwarna pink, Flea malah jadi pusing.

Hal serupa terjadi pada Randi, anak lelaki yang berandai jadi anak raja agar ia bisa memiliki semua mainan di dunia. Ternyata, saat ia benar-benar menjadi anak raja, Randi malah kesepian karena tidak ada yang mau bermain dengannya.

Agak sayang, sih. Setelah mengajak anak untuk berandai-andai, kita malah mematahkan imajinasi mereka dengan menghadapkan mereka pada kenyataan yang tidak menyenangkan. Ini membuat anak-anak yang menjadi tokoh di buku ini memilih menutup perandaian mereka dengan pasrah: “Ah, lebih baik begini saja.”

Andai - InsideMenurut saya, tidak semua kisah perandaian dalam buku ini harus mengikuti pola yang sama, yakni bahwa seluruh perandaian berakhir pada realita yang tak menyenangkan. Ada baiknya kita biarkan anak sesekali bebas berimajinasi.

Misalnya, ketika tokoh bernama Dion berandai-andai bisa terbang, biarkanlah ia menikmati khayalannya untuk terbang bebas – tanpa harus dikisahkan bahwa kemampuan terbang lantas membuat Dion terkena flu. Dengan begini, kita jadi membendung imajinasi anak terlalu dini.

Meski demikian, ada beberapa poin yang bagus dari buku ini, yakni ketika khayalan anak sudah menjurus ke hal yang berbahaya, seperti dalam cerita “Andai… tak harus sekolah” dan “Andai… semua gratis.” Nah, pada kedua cerita tersebut, tepatlah jika perandaian anak diakhiri dengan ‘pertobatan’ mereka.

Pada intinya, konsep tarik ulur perlu diterapkan. Ketika anak memang sebaiknya dibiarkan berkhayal, berikanlah mereka peluang tersebut. Namun, ketika peraturan harus ditegakkan (karena sekolah adalah kewajiban), maka khayalan si kecil perlu kita ‘intervensi’.

Mungkin, orangtua yang sedang mencari cara untuk membantu mereka membendung imajinasi anak yang sudah kebablasan bisa memanfaatkan buku ini.

Herdiana Hakim

Leave a Reply

Your email address will not be published.