Ary Nilandari: Pengarang Produktif Peduli Kualitas

Ketika bicara soal penulis buku anak, saya kerap membayangkan sosok yang eksentrik. Mirip-mirip Roald Dahl atau Dr. Seuss. Lalu, suatu hari, saya benar-benar berkenalan dengan penulis buku anak, meski hanya di dunia maya. Awalnya, saya menemukan blognya secara tak sengaja. Karena kecanduan membaca entri demi entri yang berkisah tentang buku anak, saya memberanikan diri berkenalan dengannya.

Namanya Ary Nilandari, lahir di Cirebon 19 September 1968. Ibu tiga putra ini adalah penulis, penerjemah, dan editor. Jumlah buku anak yang pernah ia tulis sudah sekitar 35 judul, di antaranya “Pertunjukan Besar Barongan Kecil”, “Rotan Pun Jadi”, “Dari Batu ke Batu”, “Ketika DamDam Kehilangan Wajahnya”, “Aku Ingin Pulang”, “365 Kisah Mencerdaskan untuk Ananda”, dan “Nathan Sang Penjelajah Mimpi”.

Ary juga menulis novel dewasa berjudul “Pangeran Bumi Kesatria Bulan”, sejumlah cerpen remaja dan dewasa untuk majalah, serta 100 karya terjemahan dan suntingan. Di dalam blognya, arynilandari.wordpress.com, Ary menuturkan pengalamannya sebagai penggiat bacaan anak serta berbagi pengetahuan tentang penulisan buku anak.

Apa pendapat Ary soal buku anak di Indonesia saat ini? Check out our chat below.

Sejak kapan Mbak Ary menjadi penulis buku anak?

Pertama kali diterbitkan ya pada 2000-an. Buku tentang pelestarian kakaktua Maluku yang diterbitkan Penerbit Dian Rakyat. Kalau menulis sih sejak kelas 6 SD. Saya menulis cerita petualangan ala Lima Sekawan dan menghabiskan 2,5 buku tulis. Ditulis tangan dengan pensil. Tidak diterbitkan. Belum ada penerbit KKPK (Kecil-kecil Punya Karya) seperti sekarang. Saat SMP saya mulai menulis cerpen remaja dan dimuat di majalah Anita.

Cerita sedikit dong tentang awal-mula Mbak Ary terjun sebagai penulis buku anak.

Dulu saya pernah bekerja sebagai editor dan penerjemah di divisi anak dan remaja Penerbit Dian Rakyat. Setiap hari bergelut dengan buku-buku impor yang asyik. Ditambah kesukaan baca buku sejak kecil. Sepertinya kecintaan pada buku-buku anak dan remaja tak ikut beranjak sejalan pertambahan usia J. Lalu, ketika saya menjadi seorang ibu, saya punya hobi mencarikan dan membacakan buku untuk anak-anak. Jadilah saya menetap di genre ini.

Siapa penulis buku anak favorit Mbak Ary?

Banyak. Dari Indonesia ada Bung Smas, Dwiyanto Setiawan, Djoko Lelono. Dari luar, yang legendaris seperti Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Astrid Lindgren. Dan yang kontemporer seperti Jonathan Stroud, Neil Gaiman, Laurie Faria Stolarz, dan Paul Jennings. Belakangan, saya jatuh cinta pada penulis yang merangkap sebagai ilustrator, seperti Shaun Tan, David Wiesner, Anthony Browne, Emily Gravett, dan Jon Klassen.

Banyak yang meyakini, bacaan kita ketika kanak-kanak memengaruhi kita sampai dewasa. Apa sih buku yang dibaca Mbak Ary ketika masih kecil yang membekas hingga kini?

Buku-bukunya Bung Smas, Dwiyanto Setiawan, Djoko Lelono, Ajip Rosidi,  Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Astrid Lindgren.

Para penulis yang saya sebut ini menyajikan tokoh-tokoh yang tak terlupakan, dengan karakter yang kuat, memiliki kelebihan yang membuat saya ingin menjadi seperti mereka tapi juga memiliki ketidaksempurnaan yang membuat saya merasa mampu menjadi seperti mereka. Tokoh-tokoh ini tidak di luar jangkauan. I could relate to them. I could identify myself with them.

Alasan kedua: buku-buku mereka dapat membawa saya berpetualang. Alur yang cepat, seru, lucu, misterius, page-turner lah pokoknya.

Satu hal lagi. Sejak dulu saat membaca, saya sadar benar akan tambahan kosa kata dan istilah baru. Dari konteks kalimat, saya memahami kata-kata baru itu dan menggunakannya di sekolah. Made me feel…. apa ya? Smart, gitu deh. Haha.

In retrospect, buku-buku itu berkualitas dalam banyak aspek. Bahasa (terjemahannya untuk yang dari luar), teknik penulisan, karakter dan juga plotnya. Memenuhi kebutuhan saya untuk having fun, keluar dari keseharian, dan mengembangkan imajinasi.

Bagaimana dengan anak-anak Mbak Ary, apakah mereka juga suka membaca karena melihat ibunya? Apa bacaan anak favorit mereka?

Ya, mereka sudah terbiasa melihat, memegang, dan dibacakan buku sejak bayi, dari buku kain sampai buku elektronik sekarang ini. Bahkan, secara harafiah mereka senang makan buku. Haha. Ada masa-masa ketika buku untuk mereka hancur kena ludah dan digigiti. Yang sulung sekarang usia 18, cenderung pada graphic novel dan tema-tema realistik. Yang kedua, usia 14, cenderung pada fantasi,petualangan, humor, teruama buku-buku serial, trilogi, pokoknya yang panjang-panjang. Yang bungsu, usia 9, masih melahap apa saja asal seru dan lucu.

Menurut pendapat Mbak Ary, apa kriteria buku anak yang bagus?

Buku yang bagus untuk anak adalah yang dapat memenuhi kebutuhan anak menurut anak (bukan menurut orangtua/guru). Karena kita pernah jadi anak, bisa dirunut ya, kita waktu kecil suka dan membutuhkan buku-buku yang menghibur, yang dapat memuaskan rasa ingin tahu, yang dapat membawa kita berpetualang dengan asyik, yang memperkenalkan kita pada dunia baru, tempat-tempat di luar jangkauan, tokoh-tokoh tak terlupakan, kejadian-kejadian fantastis, dan wilayah imajinasi yang membuat kita betah membaca. Buku dibawa ke mana pun kita pergi. Sampai ke toilet… haha.

Lalu bagaimana dengan buku yang “mendidik”? Definisi mendidik itu seperti apa dulu? Kalau mengajari anak macam-macam secara asyik kayak definisi di atas, boleh-boleh saja. Saya yakin, begitu anak menemukan kebutuhannya pada sebuah buku, maka buku itu akan berhasil mendidiknya tanpa sadar. Ia akan mencontoh sikap karakter yang dikaguminya, berempati pada kemalangan yang dialami si tokoh, mempunyai rasa keadilan terhadap tokoh jahat, dst.

Ini berlaku juga pada nonfiksi. Biografi, buku informasi, jika dibuat sesuai dengan kebutuhan anak, tentu akan berhasil menanamkan sesuatu pada diri mereka.

Sebaliknya, buku-buku yang diciptakan terutama dan terlebih dahulu dengan tujuan mendidik, misalnya penuh ajaran moral, sarat nasehat, biasanya sulit memberikan kesan mendalam. Karena ketika penulis dewasa berfokus pada aspek mendidik, risikonya adalah dia korbankan aspek fun. Belum lagi jika demi pesan moral, karakter tidak dikembangkan dengan wajar, cerita kehilangan daya tariknya, dan akhirnya anak sulit mengidentifikasikan diri dengan si tokoh.

Samalah kayak kita orang dewasa kalau baca buku yang tidak fun atau yang gagal membuat kita membangun keterkaitan. Paling juga kita tidur atau dalam setengah jam membaca halaman yang sama bolak-balik tanpa menyadari apa yang dibaca.

Apa saran Mbak Ary bagi mereka yang ingin menjadi penulis untuk anak-anak?

Jadilah anak-anak. Kita semua pernah jadi anak-anak. Kembalilah ke masa-masa itu. Susah atau senang, kebahagiaan dan derita, bahkan trauma, yang pernah kita alami waktu kecil, adalah sumber tulisan luar biasa jika kita dapat menyajikannya dengan sudut pandang anak tapi dengan sentuhan kearifan dewasa.

Bagaimanapun sebagai penulis, kita harus punya niatan hanya untuk berbagi dengan pembaca. Bukan untuk menggurui, bukan untuk menjadi sosok superior yang menganggap anak-anak inferior, juga bukan untuk mencetak sebuah generasi sesuai yang kita mau. Tidak akan berhasil. Justru jika kita secara jujur berbagi pengalaman dan wisdom, generasi muda akan belajar dari tulisan kita.

Bagaimana Mbak Ary memandang dunia buku anak dan sastra anak di Indonesia saat ini?

Hehe, ini pertanyaan sulit. Yang dapat menjawab dengan valid adalah pakar sekelas Bu Riris Sarumpaet dan Mbak Christantiowaty yang sudah sering melakukan penelitian di bidang ini.

Mungkin saya hanya dapat menggambarkan apa yang saya amati/alami sepanjang karier saya di dunia perbukuan, yaitu sejak 1993 hingga sekarang. Pada waktu itu, buku anak lokal tidak terlalu banyak di pasaran, penulis lokal terbatas dan lebih banyak berkarya untuk majalah, menerbitkan buku tidak mudah, dan pasar dikuasai buku terjemahan. Dua dekade berlalu, perkembangan buku anak sangat luar biasa. Booming, ya. Buku anak lokal sekarang bisa menempati satu-dua lantai tersendiri di toko buku. Secara kuantitatif, ini menggembirakan. Tanda pegiat buku anak semakin giat. Kita tak akan pernah kekurangan stok kreator buku anak. Komunitas profesional bertumbuhan di jejaring sosial, semakin menyemarakkan perbukuan anak. Tiap minggu bisa lahir setumpuk buku baru dari banyak penerbit. Banyak yang bagus, sayangnya masih banyak pula yang ala kadarnya.

Besar harapan saya, arah perkembangan mulai ditekankan pada aspek kualitasnya. Misalnya dengan memunculkan bacaan anak yang lebih beragam dalam tema. Menggarap visualisasinya dengan lebih baik. Membenahi teknik penulisan. Memperhatikan aspek kebahasaan. Dan terutama menjadikan anak sebagai subjek. Buku untuk anak. Bukan sekadar buku tentang anak.

Dengan kata lain, menghindari kesan “buku anak Indonesia kok gitu-gitu aja.” (ini konsumen yang ngomong ya…. saya sering dengar gitu). Biasanya konsumen yang berpendapat seperti itu adalah konsumen yang terpapar buku-buku menakjubkan dari luar negeri.

Bukan berarti kita harus berkiblat pada negara tertentu. Kita justru perlu menampilkan keindonesiaan kita karena kita juga punya sejarah perbukuan anak yang panjang (yang sayangnya minim dokumentasi. Selain Mbak Christantiowaty, adakah peneliti dan pencatat literatur anak Indonesia?). Negara-negara itu kita jadikan cermin. Kita belajar dari mereka bagaimana memunculkan karakter dan jati diri kita.

Pokoknya buku anak perlu didesain dengan konsep yang bagus. Penulis, ilustrator, editor, desainer, penerbit, perlu duduk bersama untuk memikirkan nantinya jadi seperti apa. Tak ada lagi anggapan karena ini buku anak maka kita menggampangkan, bekerja asalan, asal terbit, asal terjual. Justru karena ini buku anak, kita bekerja lebih keras, lebih hati-hati, dengan passion lebih.

Saya juga berharap ada sinergi antara kreator buku dengan para akademisi, pustakawan, pemerintah…. semuanya… yang berkepentingan dalam literasi anak. Sinergi yang akan memunculkan standar kualitas, menghidupkan budaya review dan kritik yang sehat, serta apresiasi layak dan bermakna terhadap buku-buku yang memenuhi standar itu.

Saya membuatnya kedengaran mudah ya? Tapi kapan lagi dan siapa lagi? Semua harus turun untuk memajukan buku anak Indonesia. Sudah saatnya kita saling mendengar. Sudah saatnya pula kita belajar lagi dari negara-negara yang sudah lebih dulu maju dalam literasi anaknya.

Cerita dong tentang Litara.

Nah, karena dan untuk semua hal di atas, saya dan teman-teman seide mendirikan Yayasan Litara. Awalnya bertiga, saya, Eva Nukman, dan Sofie Dewayani. Kami semua penulis, pengamat, dan peneliti literasi anak. Lalu kami merangkul teman-teman dari desain komunikasi visual, yaitu Evelyn Ghazali dan Mbak Riama Maslan.

Litara kepanjangan dari Literasi Anak Nusantara. Yayasan ini adalah tempat kami mewujudkan idealisme kami tentang buku anak sekaligus mempromosikan warisan budaya dan tradisi Indonesia melalui literatur anak.

FOTO Ary Nilandary - karya - InspirasiSementara ini kami baru membuahkan 15 picturebooks serial “Bianglala Anak Nusantara”. Untuk seri itu, kami berkolaborasi dengan 14 orang ilustrator dan dua orang book designer.

Yayasan Litara memang baru seumur jagung, kami masih belajar, dan dalam prosesnya mencoba membangun sinergi dengan banyak pihak.

Terima kasih sudah berbagi dengan Si Kancil, Mbak Ary!

Herdiana Hakim

Leave a Reply to redaksi Cancel reply

Your email address will not be published.