Jana Tak Mau Tidur

Inilah buku bergambar yang memberi pengalaman baca nan seru! Terus terang, belum banyak cerita anak di Indonesia yang bisa menawarkan ini, karena sebagian besar bacaan anak kita saat ini masih terlalu berat dibebani pesan moral.

Hanya dalam 28 halaman, para pembaca cilik akan dibawa melewati berbagai emosi: dari penasaran, tegang, (sedikit) takut, sampai terhibur. Ukuran buku yang besar juga mendukung, karena eksplorasi atmosfer cerita pun bisa maksimal.

Kolaborasi teks yang minim (tapi pas dan sesuai porsi) dengan goresan ilustrasi charcoal yang monokrom dengan apik berpadu, membawa kita ke satu malam yang seru di rumah Jana, sang gadis kecil yang tidak mau tidur.

Satu lagi elemen yang unik di sini adalah bunyi. Tenang, buku ini tidak mengeluarkan suara. Tapi, rasanya seperti demikian, karena torehan keterangan suara yang mengalun di berbagai penjuru halaman buku bak menjadi “sound effect” yang efektif menggema di kepala pembaca.

Nah, saat Jana yang tak mengantuk mendengar bunyi misterius, ia meninggalkan tempat tidurnya dan mencari sumber suara. Apa yang ia temukan? Sejumlah penari dan pemusik tradisional Bali di salah satu ruangan di rumahnya. Alih-alih takut, Jana yang pemberani ikut menari.

Namun, bunyi lain membawa cerita kembali melaju. (Perhatikan bunyi “Argh” yang datang dari sudut kanan halaman.)

Muncullah Rangda, makhluk dalam mitologi Bali yang diyakini sebagai ratu para leak yang suka menculik anak kecil. Namun, ternyata monster mengerikan ini membutuhkan bantuan Jana!

Untuk apa? Memotong kuku-kukunya yang panjang (sekaligus menakutkan) itu, karena sang ratu leak rupanya kesulitan membaca buku-buku cerita favoritnya dengan kuku panjang tersebut.

Bocah pemberani kita pun memotongkan kuku-kuku Rangda, dan ratu leak tersebut menepati janjinya membacakan salah satu buku kesukaannya. Dan akhirnya… Jana terlelap.

Dengan napas Bali yang kental pada detail ilustrasi maupun konten cerita, pengalaman Jana saat tak bisa tidur membuat kita ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Bali. Dan itulah kekuatan sebuah buku cerita yang baik – pembaca tak dibuat berhenti di buku itu saja.

Omong-omong, cerita ini mengingatkan saya akan sebuah buku anak legendaris dari Amerika Serikat, “Where The Wild Things Are”.

Karya Maurice Sendak yang sempat dianggap kontroversial pada era 1960-an itu mengisahkan seorang bocah lelaki bernama Max yang dihukum dengan dikurung di kamarnya. Ia lalu “melarikan diri” ke dunia para Wild Things, alias monster.

Monster-monster mengerikan (tak kalah dari leak) yang seharusnya membuat anak kecil lari ketakutan itu justru ditaklukkan oleh Max. Mereka pun mengajak bocah tersebut bermain bersama.

Begitu pula Jana, yang perjumpaannya dengan Rangda, sosok mengerikan yang tentu tak asing baginya sebagai bocah Bali (yang sering mendengar cerita bahwa Rangda suka menculik dan memakan anak kecil), berakhir dengan pertemanan.

Bagaimana dengan sosok monster yang dianggap terlalu menakutkan untuk cerita anak? Itu juga yang dulu dijadikan bahan kritikan untuk Maurice Sendak. Faktanya, “Where The Wild Things Are” tidak hanya menjadi buku laris yang masih dicari hingga kini, tapi terus menjadi favorit anak-anak di berbagai perpustakaan.

“Where The Wild Things Are” lantas menerima setumpuk penghargaan bergengsi. Pada 2016, Presiden Obama dan First Lady memilih buku ini untuk dibacakan di depan anak-anak di Gedung Putih.

Ini menunjukkan bahwa apa yang kerap dibayangkan oleh orang dewasa sebagai “tidak cocok untuk anak” bisa berbeda dengan apa yang sesungguhnya anak-anak rasakan.

Jadi, variasikanlah koleksi cerita si kecil, dari bacaan yang menyenangkan baginya sampai yang berpesan moral (tapi pilih yang implisit, ya). Niscaya, pengalaman bacanya akan semakin kaya.

Herdiana Hakim

PS. Sepertinya, ini pertama kali saya menjumpai ilustrasi ayah protagonis yang berambut gondrong dalam buku anak karya Indonesia! Tentu, ini sebuah terobosan bagi penggambaran sosok ayah.

 

Leave a Reply to redaksi Cancel reply

Your email address will not be published.