Kisah dari Banggai

Buku cerita dalam seri Lintas Anak Nusantara ini sungguh layak ditunggu. Di awal 2017, setelah resensi “Kisah dari Alor” dimuat di sini, beberapa pembaca SiKancil menyampaikan apresiasi mereka. Kini, buku kedua yang membawa kita mengenal kisah anak Indonesia di dalam seri ini sudah terbit. Inilah “Kisah dari Banggai”!

Kali ini, kita dibawa ke Sulawesi Tengah, tempat sebuah pulau dan kepulauan bernama Banggai, diambil dari nama kerajaan di wilayah tersebut. Nah, anak-anak dari sanalah yang menuturkan sejumlah cerita di buku ini.

Salah satu anak tersebut adalah Hamdi, siswa kelas 3 SD di Ondo-Ondolu, Pulau Tembang. Meski “lokasinya terlalu kecil untuk muncul di peta,” desa Hamdi merupakan masyarakat heterogen karena warganya yang merupakan campuran antara penduduk lokal dan para transmigran dari Jawa, Bali, dan Lombok.

Teman-teman Hamdi pun datang dari beragam suku, dari Sunda, Saluan, sampai Bugis. Keseharian mereka sangatlah dekat dengan alam liar, di mana perjumpaan dengan burung maleo, biawak, atau monyet adalah hal biasa.

Tentu, anak-anak ini juga pergi ke sekolah. Namun, selain belajar, hari-hari mereka juga diisi dengan mendayung sampan, menyelam di laut untuk mencari babadoh, bermain-main di sungai yang mereka sebut kuala, dan ngemil buah-buahan segar langsung dari pohonnya.

Guru-guru mereka, seperti Ibu Devi dan Ibu Lili, adalah para pendidik progresif yang tak hanya suka mengajak murid-muridnya belajar di luar ruang kelas, tapi juga di luar “kotak” alias out of the box.

Misalnya, saat mengajarkan persoalan lingkungan hidup, mereka tak hanya memberi teori, tapi juga membawa murid-muridnya mempraktikkan langsung kecintaan terhadap lingkungan. Termasuk saat mereka bersama-sama menyaksikan gerhana matahari total dengan alat pengamatan dari kardus bekas!

Guru-guru ini juga berperan besar mengenalkan anak-anak mereka pada satu nilai penting yang sedang sangat relevan saat ini: toleransi.

Ketika guru baru bernama Ibu Happy tiba di SDN 2 Sinorang, anak-anak terperangah melihat sang guru tak mengenakan kerudung, seperti guru-guru perempuan mereka yang lain. Ini adalah pertama kalinya mereka memiliki guru beragama Kristen. Tak heran jika mereka punya banyak pertanyaan, seperti: “Ibu tidak pergi shalat di masjid?” dan “Ibu bisa mengaji?”

Anak-anak pun tak hanya berkenalan dengan guru baru, tapi juga dengan kepercayaan yang berbeda. Saat tahu bahwa Ibu Happy beribadah di hari Minggu, maka anak-anak menanti sang guru pulang dari gereja sebelum mengajaknya berenang ke Pantai Bajo.

Tak kalah penting adalah satu cerita tentang keberagaman keyakinan di antara anak-anak sendiri. Di SDN Inpres Tompotika Makmur, potensi konflik nyaris timbul di antara siswa kelas I SD yang harus masuk kelas yang berbeda untuk pelajaran agama. Dengan tanggap, Ibu Guru Annisa mengajak anak-anak membuat kartu ucapan hari raya, yang menjadi tahap awal yang bermakna untuk memahami perbedaan.

Mark Twain, pengarang cerita anak yang menulis “Petualangan Tom Sawyer”, pernah berseloroh bahwa melakukan perjalanan atau traveling sungguh penting untuk mengurangi prasangka, fanatisme, dan kesempitan berpikir. Membaca buku juga merupakan bentuk “traveling” tersendiri, apalagi saat bacaan tersebut dapat menjadi jembatan bagi keragaman.

Bagi saya, “Kisah dari Banggai” adalah contoh yang amat bagus untuk mengajak anak-anak kita menyeberangi jembatan keragaman, dan berkenalan dengan teman-teman mereka yang hidup, bersekolah, dan bermain di bagian lain negara kepulauan kita.

Yang terpenting, tema-tema penting tersebut disajikan lewat cerita. Ini bukan buku serius atau “berat”, lho, apalagi dengan ilustrasi ala guratan komik yang ceria di tiap halaman. Bacalah bersama anak-anak usia 8 tahun ke atas, dan bukalah diskusi penting tentang indahnya keragaman di negeri kita.

Herdiana Hakim

Leave a Reply

Your email address will not be published.