Yovita Siswati: Pentingnya Riset untuk Menulis Buku Anak

Saat mengunjungi bagian buku anak di toko buku, kita pasti pernah menjumpai salah satu karya Yovita Siswati.

Ibu dua anak kelahiran 26 Mei ini memang produktif; ia telah menghasilkan lebih dari 30 judul. Sebagian mengambil bentuk picture book, seperti “Pipi Tak Mau Terbang” dan “Ollie Ingin ke Bulan”. Ada juga yang berupa kumpulan cerita, seperti “Kisah Satwa Langka”. Ada pula yang berupa novel anak, seperti “Misteri Kota Tua” serta “Misteri Kampung Hitam”.

Buku-Yovita

Sekilas, mungkin kita berpikir bahwa Yovita sudah sejak dulu bergelut di dunia kepenulisan. Ternyata tidak. Beliau adalah lulusan Teknik Arsitektur UGM yang bahkan tidak pernah memakai ilmu arsitekturnya. Selama 14 tahun berkarier, Yovita justru banyak bergelut dengan angka dalam pekerjaannya di perusahaan asuransi dan telekomunikasi.

Lantas, bagaimana pemilik blog www.yovitasiswati.com ini bisa menjadi penulis buku anak? Bagaimana pula suka-dukanya saat menuliskan cerita-cerita tersebut? Simak pengalaman seru dan gaya humoris Yovita dalam wawancara bersama Si Kancil.

Hai, Mbak Yovita! Cerita dong bagaimana Mbak Yovita bisa menjadi penulis buku anak. Apakah sejak dulu Mbak Yovita memang suka buku anak dan tertarik untuk menulisnya?

Sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita untuk menjadi penulis. Keinginan untuk mempublikasikan karya-karya saya muncul saat saya sedang menginventarisir dongeng-dongeng sebelum tidur yang pernah saya ceritakan pada anak saya, si Kakak.

Jadi, ceritanya (ehem)… sejak umur dua tahun, si Kakak selalu harus didongengi sebelum tidur. Kalau tidak, dia pasti mogok tidur. Dan ceritanya tidak boleh sama. Setiap malam harus berbeda. Lama-kelamaan dongeng saya jadi banyak. Saya coba mencatatnya di komputer supaya tidak lupa dan bisa dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan si Kakak akan dongeng yang berbeda setiap malam.

Nah, pada saat itu, sekitar tahun 2009 – 2011, sedang tren picture book bilingual karya penulis lokal. Saya pikir, boleh juga nih dongeng-dongeng nganggur saya dikirim ke penerbit. Sejak itu, dimulailah karier alternatif saya sebagai pengasong naskah dan pengamen buku anak.

Apa buku anak pertama yang Mbak Yovita tulis? Bagaimana rasanya saat buku itu diterbitkan?

Buku pertama yang saya tulis adalah “Koko & Kiki – Outdoor Activities Series”. Walaupun ini buku anak pertama yang saya tulis (dengan lama penulisan dua hari), buku ini bukanlah yang pertama terbit. Karena pengilustrasian buku memakan waktu, maka penerbitannya tersalip oleh buku “Baby Gokil”.

Rasanya saat lihat karya saya nampang di toko buku? Ehmm… seperti dapat satu drum es krim vanila with sprinkles of chocolate and cherry on top, terus gratis pula.

Menurut Mbak Yovita, sulit tidak sih menulis cerita atau buku untuk anak? Biasanya, bagaimana proses kreatif Mbak Yovita dalam menulis cerita anak, dari ide hingga menjadi buku?

Jawabnya: tidak sulit. Tetapi juga tidak gampang.

Sulitnya adalah saat memulai. Paragraf awal biasanya bongkar pasang. Belum lagi bila jenuh. Biasanya, di saat-saat seperti ini akan muncul writer’s block. Semua yang ditulis tampak jelek atau malah tidak keluar satu kata pun.

Gampangnya, menulis buku anak membuat saya bisa berkhayal hingga tingkat kayangan. Apalagi untuk picture book. Khayalan paling absurd pun bisa jadi bahan cerita (and ‘ngayal’ is my middle name, ha!)

Tahapan proses menulis saya adalah: ide – format – tulis – edit.

Ide bisa datang saat main sama anak-anak, saat lagi nonton kartun di TV atau nonton bioskop, saat sedang baca buku (baik buku cerita atau buku pelajaran sekolah anak), saat sedang berinteraksi dengan anak orang lain di tempat umum, saat sedang nongkrong di Timezone, saat sedang ngopi di pasar modern, saat sedang mimpi (beneran, literally sedang mimpi dan masih ingat isi mimpi saat bangun), dan saat-saat abstrak lainnya.

?????????????

Dari ide, lahirlah format. Misalnya, untuk picture book: mau dibuat berapa halaman? Satu halaman berapa kalimat? Seperti apa gambar setiap halaman? Tebalnya berapa?  Ada lembar aktivitas? Untuk novel anak, biasanya di tahap ini mulai proses membuat plot.

Setelah format atau plot beres, baru mulai menulis. Nulis dulu sampai selesai, edit belakangan (kalau ingat – haha, enggak ding, saya selalu rapikan dulu setiap naskah sebelum ngasong ke penerbit kok).

Selain buku bergambar, Mbak Yovita juga menulis novel anak untuk Seri Misteri Favorit. Bagaimana awalnya Mbak Yovita bisa tertarik menulis novel anak?

Sebenarnya, saya juga nggak pernah ada keinginan untuk jadi novelis. Tapiii pada suatu dini hari dua tahun lalu, saya lihat ada pendaftaran kelas menulis novel kontemporer realis dari Teh Ary Nilandari. Aha! Siapa yang tak kenal Teh Ary? Bodoh banget saya kalau menyia-nyiakan kesempatan belajar dari beliau.

Jadi, walaupun nggak pernah ada bayangan tentang bagaimana itu menulis novel, saya mendaftar saja. Saya daftar pukul 4 pagi dan beberapa jam kemudian kelas ditutup karena sudah penuh (lucky me).

Produk dari kelas ini adalah buku “Misteri Kota Tua”, buku pertama dari serangkaian buku dalam Seri Misteri Favorit. Setelah itu, empat judul lainnya terbit susul-menyusul dalam waktu satu tahun, yaitu “Misteri Gua Purba”, “Misteri Kota Topeng Angker”, “Misteri Kampung Hitam”, dan “Misteri Kerajaan Kuno”.

Sulit tidak sih menulis untuk kelompok usia anak yang berbeda? Bagaimana cara Mbak Yovita membedakan tulisan untuk kedua kelompok usia tersebut?

Sulit-sulit gampang. Eh, gampang-gampang sulit.

Saya dimudahkan dalam proses menulis karena saya punya anak dengan usia sesuai target pembaca saya. Saat menulis cerita bergambar atau kumpulan cerpen anak, saya tinggal menguji coba pada si Adik. Jika sedang membuat novel, si Kakak yang akan jadi first reader saya.

Saya tidak pernah punya pegangan teori tertentu bahwa menulis picture book harus begini, menulis novel harus begitu. Ya, saya membaca buku teori penulisan. Yes, saya juga ikut berbagai kelas menulis. Tetapi, pada praktiknya, saya banyak di-guide oleh bocah-bocah di rumah. Apa yang menyenangkan untuk mereka, itulah yang saya tulis.

Tantangan terbesar saat menulis untuk dua kelompok usia anak yang berbeda adalah dalam hal mengubah mood dan switching imajinasi atau “lompat khayalan”. Dari menulis soal landak biru yang ingin jadi bintang rock misalnya, menjadi ABG penakut yang harus bertualang demi menyelamatkan nyawa dari ancaman penjahat pemburu harta.

Karena itu, biasanya saya menetapkan waktu jeda. Kalau hari ini menulis buku tentang negeri kodok di atas awan, maka besok atau beberapa hari kemudian baru saya menulis tentang perebutan harta karun di sebuah kota.

Kabarnya Mbak Yovita melakukan riset langsung ke lapangan untuk Seri Misteri Favorit. Cerita dong pengalaman unik yang pernah Mbak Yovita alami saat melakukan riset.

Ya. Saya memang sering melakukan survei lapangan. Istilah saya: in situ research. Sebenarnya ini tidak wajib. Tapi saya pikir, selama resource waktu, tenaga dan biaya ada, apa salahnya? Kebetulan saya suka travelling. Saya senang bengong di latar nyata cerita, membayangkan bagaimana kehidupan di tempat itu ratusan tahun lalu dan bagaimana situasi ratusan tahun lalu itu memengaruhi situasi hidup si tokoh utama di saat ini, tepat di tempat itu. Biasanya dari situ banyak ide mengalir, dan plot bisa langsung tergambar jelas.

Banyak hal terungkap yang mungkin tidak bisa didapat dari riset melalui buku, misalnya cara dan nada bicara orang-orang di situ, kondisi udara, cuaca, dan “ketegangan setempat” (misalnya situasi menyeberang jalan yang hectic, atau transportasi sungai yang menakutkan, atau gedung seram tak terawat tapi bau wangi).

Pengalaman unik? Banyak. Setiap kota dan setiap perjalanan adalah unik.

Salah satu yang paling berkesan adalah saat saya mengunjungi sanggar Tari Topeng almarhum Mimi Rasinah. Saya ngobrol dengan Mimi Aerli, cucu dari Mimi Rasinah.

With Mimi Aerli cucu Mimi Rasinah

Dari beliau, saya mendapat cerita banyak sekali tentang kisah para penari topeng dan filosofi Tari Topeng. Kisah para penari topeng ini menjadi backbone untuk novel saya, “Misteri Kota Topeng Angker”.

Momen lain yang paling menegangkan adalah saat saya mencari-cari lokasi gua Jepang di pegunungan kapur di Selatan Jawa. Saya tidak menyangka jalannya begitu kecil. Pas banget untuk satu mobil dan di kanannya terbentang jurang yang dalam. Nyetirnya harus pakai presisi, tak ada toleransi untuk kekeliruan kecil sekalipun karena konsekuensinya adalah masuk jurang. Tapiiii di TKP saya bisa memandang ke laut Selatan yang kelihatan seperti perak. Whoaa! View of a lifetime deh pokoknya. Latar gua ini ada di novel saya, “Misteri Kampung Hitam”.

Di Gua Jepang - pose tegang karena dari belakang kog hembus2 udara dingin

Saat-saat konyol lain adalah saat saya mengunjungi kuburan, mencari nama-nama beraroma Belanda pada batu nisan dan foto-foto selfie. I did it twice di dua kota berbeda – oh my, I think I have become addicted to cemetary picnic! Di satu kota yang sedang saya tulis sekarang, saya bahkan melihat tengkorak berserakan di sebuah kuburan di pulau Jawa.

Selfie Kuburan

Saya juga bertemu banyak orang unik, aneh, baik, ramah, dan galak di sepanjang perjalanan. Orang tergalak yang pernah saya temui meminta saya untuk bicara dengan anjingnya saja. Orang teramah yang saya temui mengajak saya kongkow di teras rumahnya sambil membicarakan masa muda. Orang teraneh yang saya temui pernah memangkaskan rumput makam untuk saya (padahal itu makam siapa saya juga tidak kenal).

Apa impian atau rencana pribadi Mbak Yovita ke depan? Adakah buku anak tertentu yang masih ingin dibuat?

Rencana saya… hmm… apa, ya? Saya nggak punya rencana khusus. Menulis buat saya adalah terapi jiwa, bukan sesuatu yang harus ditarget (kecuali untuk naskah pesanan hehe… Aduh, jadi ingat utang ke beberapa editor… Uhuk! *keselek dondong*).

Yang pasti, saya harus keep everything balanced. Ya urusan domestik, pekerjaan, dan hobi menulis. Semua harus jalan selaras. Hanya mengurus domestik saja bisa bikin jenuh. Pekerjaan saja bisa bikin gila. Sementara kalau hanya mengurus hobi saja, saya bisa jatuh miskin nggak punya duit.

Jadi, rencana saya ke depan: pokoknya balance aja deh semuanya! Dan sebisa mungkin membuat my each and every stakeholder (anak, suami, bos di kantor, para editor, dan pembaca buku saya) happy.

Buku anak yang masih ingin dibuat? Saya adalah penggila sejarah. Jadi, saya ingin sekali terus bisa bikin buku-buku berlatar sejarah dengan berbagai format dan genre yang bisa dinikmati anak-anak.

Apa harapan Mbak Yovita terhadap buku anak di Indonesia?

Saya sering sedih karena minat baca anak Indonesia itu kecil sekali. Saya harap penulis buku anak di Indonesia yang sekarang sudah sangat banyak (dan sangat kreatif) bisa terus menghasilkan karya-karya yang bermutu dan menarik, sehingga bisa menggugah anak-anak untuk mau membaca.

Secuplik sampul buku

Terima kasih untuk wawancara yang menyenangkan ini, Mbak Yovita!

Herdiana Hakim

Leave a Reply to Dame Inawati Tampubolon Cancel reply

Your email address will not be published.